Bongkar Lemari : Minimalism
Ini adalah gambaran lemari di kamar saya sebelum mengenal konsep minimalism. Disini saya sudah berusaha organizing barang-barang yang menurut saya 'akan saya gunakan suatu saat nanti'. Akan tetapi, sebentar kemudian semua barang tersebut akan kembali menjadi berantakan. Sehingga membuat saya 'lelah' dan uring-uringan terhadap barang yang saya klaim 'cintai' tersebut.
Minggu ke 2 di bulan Januari ini, saya berniat mulai mengurangi barang dan mempertahankan yang hanya memiliki nilai fungsionalitas sesuai kebutuhan. Sebagai informasi, lemari ini berisi buku sekolah anak saya, baju, kosmetik, dan dokumen serta alat elektronik. Huuuft! Membayangkan saja sebenarnya membuat saya ingin menunda-nundanya terus. Karena barang dilemari ini sudah saya estimasi banyak yang saya klaim sebagai 'sayang kalau dibuang, nanti juga bakal kepake', yang akhirnya sampai saat ini numpuk tak dapat perhatian disana.
Tumpukkan sampah itu tak terelakkan lagi, menggunung hingga butuh beberapa batch untuk mengurainya. Heran! Itulah yang ada dipikiran saya. Takjub karena barang sebanyak ini awalnya saya beli dengan uang. Lalu, menjadi sampah begitu saja karena expaired atau tak berguna.
Kenapa saya membelinya waktu itu?
Kenapa saya menumpuknya hingga sebanyak ini? Kapan saya mulai menjadi hoarder?
Jawaban yang saya dapatkan setelah merenung dan menyadari tindakan kompulsif shopping ini adalah, 'saya berada dalam kebahagiaan semu' ketika keinginan belanja itu datang. Iya, saya bahagia saat membeli barang itu tanpa tahu apa gunanya. Atau, saya tahu gunanya apa, akan tetapi saya sudah punya barang yang hampir serupa dirumah, yang akhirnya salah satunya akan menjadi useless. Ada lagi, saya membeli barang itu karena untuk digunakan 'nanti', yang akhirnya tidak pernah ada kata nanti karena saya akan belanja lagi, lagi dan lagi.
Hal tersebut terus-menerus saya lakukan seperti berada di lingkaran setan. Sampai, saya punya 3 lemari plastik, 1 lemari meja belajar, dan 1 lemari kayu 3 pintu. Semua penuh dengan baju, tas, handuk, selimut. Padahal kenyataannya handuk, selimut, baju dan tas yang saya pakai ya itu-itu saja. Lalu, untuk apa saya butuh banyak lemari dirumah? Ya itu tadi, karena saya menderita compulsive buying. Kalo nganggur dikit, terus jempol pegang hp, hal yang saya lakukan adalah membuka aplikasi belanja online.
Tahun lalu, lemari 3 pintu saya rusak. Engsel pintunya jebol karena terlalu banyak isi yang saya paksakan masuk. Tahu Apa yang saya pikirkan tahun lalu? Ya benar, membeli lemari baru yang lebih besar. Why not, I can afford it!!! Sebegitu sombongnya saya. Padahal saya bukan artis yang satu kali pakai baju harus ganti. Pokoknya yang ada di otak saya itu beli, beli, beli.
Sampai pada waktunya saya sakit, terkena covid walau sudah dapat vaksin 3x. Saya tidak bisa bangun dari tempat tidur, saya terpaksa isolasi diri dirumah. 1 minggu lamanya saya isolasi, dan keadaan rumah saya seperti rumah yang super berantakan seperti di reality TV-HOARDER HOUSE. Kondisi kesehatan saya belum cukup mampu untuk me laundry semua baju yang berserakan, cucian piring yang menumpuk, dan lantai kotor bekas remah-remah makanan. Saya depresi, tidak berdaya menghadapi hal seperti ini dan tidak tahu harus memulai dari mana.
Alhamdulillah, saya punya support system yang baik. Ibu saya datang, membereskan laundry saya, mencucinya, menjemur, dan melipatnya. Besoknya mertua saya datang membantu cucian piring saya, lalu bergantian sampai rumah saya bersih. Tepatnya 1 bulan, saya mulai bisa beraktivitas normal. Dalam masa tak berdaya itu saya menemukan video cleaning hoarder house, cleaning for depression people, lalu video tentang minimalism.
Saya hanya menonton, tidak take action sama sekali. Barang2 saya masih sama banyaknya, lemari saya engselnya masih rusak. Tahun lalu, ketika saya mengenal konsep minimalism, saya berhasil mengerem kebiasaan belanja. Saya hanya menambah 3 potong baju dalam lemari saya, itupun yang saya beli hanya 1, sisanya di hadiahkan oleh ibu dan mertua saya untuk dipakai saat lebaran. Menurut saya itu kemajuan, karena sebelumnya saya bisa membeli 1 lusin baju dalam setahun, beberapa tas, dan ber box-box kitchen utensil yang entah apa gunanya.
Tahun ini, saya berjanji akan mengurangi barang dirumah. Membuat simpel hidup saya, dan tidak berpatokan pada keinginan belanja. Melainkan memaknai barang disekitar sesuai fungsi dan kegunaannya. Seperti sisir, setelah membongkar laci make up ada 6 sisir yang saya temukan. Untuk apa saya mempunyai 6 sisir? Setebal dan sepanjang apa memangnya rambut saya? Apakah saya menyisir rambut 6x sehari dan setiap kali menyisir harus berganti sisir? Kenapa ruwet sekali hidup saya hanya seputar memilih sisir? Akhirnya, saya hanya punya 1 sisir dan menggunakan sesuai fungsinya.
Perjuangan mengeliminasi barang-barang ini belum selesai. Tapi, saya bahagia setelah menginventaris barang yang benar2 saya butuhkan dan sesuai fungsinya. Semakin enteng rasanya hidup ini. Nanti, akan saya ceritakan perjuangan saya menuju konsep minimalism yang sebenarnya.
Komentar
Posting Komentar