Sadar Diri
Saya menulis ini karena sejak kecil saya sudah dibantai dengan kenyataan bahwa saya terlahir bukan dari kaum berkecukupan.
Saya kecil hidup bersama orang tua, yang hidup dirumah dinas hampir tak layak pakai (bocor, banjir, retak dinding sampai ular masuk kerumah, dan banyak lagi). Anehnya, saya enjoy aja dan senang.
Ditahun ke 4 usia saya, saya dikirim orang tua untuk ikut mbah kakung dan mbah uti di kota agar bisa sekolah layak. Alasan lainnya yang lambat laun saya ketahui, orang tua saya tidak mampu membiayai kebutuhan untuk seorang anak kecil dan sekolahnya. Jadi, mereka menitipkan cucunya untuk di sekolahkan dan dirawat oleh mbahnya.
Saya tidak sedih waktu itu. Saya masih terlalu kecil untuk tahu kenyataan tersebut. Diotak saya, hanya ada bermain, tertawa dan sekolah. Titik. Tidak serumit ketika usia saya bertambah seiring waktu.
Sampai SMA saya hidup bersama mbah, ikut merawat beliau saat masuk rumah sakit. Mencuci pakaian beliau saat mereka mulai menua dan menyuapi saat mini stroke menyerang tubuh renta mereka. Pasti dipikiran kalian terbersit, apakah anda tidak membenci orang tua anda?
Tidak, tidak pernah. Sampai sekarang pun saya masih menyayangi mereka sebagaimana mestinya. Ingatlah, setiap orang tua tidak ingin melihat anak struggling dengan kondisi orang tuanya. Saya rasa itu alasan logis mereka menginginkan itu untuk saya.
Dalam perawatan mbah, saya mempunyai banyak teman, berangkat sekolah dengan riang, tak pernah kenal besok harus makan apa (mungkin orang tua saya mengalami ini). Yang saya tahu hanya bermain, belajar selesai maghrib, main lagi sampai isya, lalu tidur dan berangkat sekolah keesokan harinya. Saya sangat bersyukur karena masa kecil saya tidak dirampok oleh kerasnya kehidupan.
So far, kehidupan berputar. Orang tua saya tak lagi struggling, mereka hidup cukup. Saya punya 2 saudara laki-laki yang mampu mereka rawat sendiri. Dan saya sekarang, hidup dari penghasilan toko dan menjahit.
Walaupun kehidupan kami sekeluarga membaik, tak serta-merta membuat kami berubah menjadi orang kaya dadakan. Kami tetap berbelanja baju setahun sekali, setia memakai sandal jepit sampai benar2 buluk baru ganti yang baru, bahkan untuk membeli sepeda motor kami tidak pernah memprioritaskan beli yang model terbaru... bapak selalu menyarankan beli yang nyaman dinaiki, aman dikendarai dan tidak kelelahan saat mengendarai dan mengeluar memasukkan kegarasi rumah. Sesimpel itu didikan orang tua kami.
Hasilnya, saya sampai diusia ini tidak pernah neko2 untuk hidup ikut pamer kekayaan, sirik kalau melihat tetangga beli motor mahal atau mobil baru. Saya tenang saja melihat semua itu, saya ikut bahagia dengan mereka dan tersenyum sambil berdoa semoga rejeki saya tetap lancar. Cukup.
Karena semenjak kecil, orang disekitar saya mengajarkan untuk sadar dengan diri sendiri. Bahwa saya itu wong cilik, dan banyak wong cilik lainnya disekitar yang harus dijaga perasaannya. Bukan tempat saya untuk hidup bermewah-mewah karena semua didunia ini hanya titipan.
Kata wong cilik dan menjaga perasaan yang disampaikan mbah itulah saya pegang sampai saat ini. Ajaran itupun diturunkan mbah pada ibu saya, yang tak lupa diterapkan pada adik-adik dan saya sendiri.
Hidup bukan soal menjadi kaya, mendapat pengakuan orang lain, atau merasa powerful. Tidak, hakikat kehidupan bagi saya tidak seperti itu. Saya ingin mempunyai teman tanpa harus memandang seberapa besar mereka memandang harta, pengaruh sosial dan motif. Saya nyaman dengan kehidupan sekarang, anak2 saya bisa sekolah, pekerjaan bisa diurus dari rumah dan segala aspek kehidupan terkontrol dengan baik.
Yang saya lakukan adalah sadar diri, bahwa saya memang lebih suka menikmati ketenangan dan rasa nyaman. Senang ketika melihat orang disekitar saya bahagia. Dan nyaman dengan lingkungan yang saya ciptakan dengan indah.
Lambat laun, setelah saya menjadi pegawai diperusahaan yang mempunyai visi untuk mempromosikan karyawan yang bekerja dengan baik. Saya merasa selalu bekerja dengan baik, tapi tidak menyukai nuansa kantor yang sikut2an, saling menjatuhkan dan menusuk teman dari belakang. Butuh waktu lama untuk menyadari, bahwa drama kantor bukan untuk saya. Saya suka warna yang tenang, damai, nyaman dan bekerja baik sesuai porsi. 10 tahun bekerja di kantor dan setelah suami meninggal, akhirnya saya memutuskan keluar. Kemudian berencana membuka toko kecil2an.
Banyak yang mengolok-olok, teman kerja saya banyak yang sinis, banyak juga yang meremehkan, ijazah kuliah hanya buka toko? Kuliah mahal2 hanya untuk jualan?
Saya tidak punya bahu untuk bersandar saat itu, saya single parent yang harus mengurus anak dan harus mempunyai penghasilan. Jadi, saya tidak peduli apa kata orang lain. Diri saya adalah apa yang menjadikan keinginan saya terwujud. Sekarang, setelah semua masa sulit itu terlewati. Saya merasa senang dengan keputusan yang saya ambil.
Anak2 saya tidak kekurangan perhatian dari mamanya, sekolah tidak tertinggal, ngaji tetap jalan, toko dan jahit pun alhamdulillah lancar. Kehidupan saya tenang, tidak ada aura negatif yang menggerogoti mental saya. Inilah kebahagian sederhana yang ingin saya bagi, yakni sadar diri bahwa saya hanya wong cilik yang perlu berempati.
Komentar
Posting Komentar