Melewati Kepala 3

 Ya, saya sedang menjalani proses usia saya yang menuju 32 tahun. Pasti sudah banyak yang kita lewati ketika menginjak usia tersebut. Salah satu contohnya, kita telah ditinggal oleh orang terdekat kita. Entah itu secara gamblang atau hanya perasaan kita saja.

Diusia ini, saya sudah mengalami ditinggalkan oleh suami saya selamanya. Suami yang sangat, sangat saya cintai. Karena Allah SWT lebih mencintainya karena kebaikannya.

Diusia ini, saya juga ditinggalkan mertua saya (abah) menyusul tidak lama setelah suami saya meninggal.

Diusia ini, saya merasa dibombardir oleh kenyataan yang menempa saya untuk 'nrimo'.

Yah! Kata 'nrimo', yang dalam bahasa indonesia artinya menerima dengan ikhlas tengah saya jalani.

Dalam titik keterpurukan saya, banyak saya merenung untuk mencari apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Karena pada kenyataannya, kehidupan akan terus berjalan, anak-anak saya harus tetap bersekolah dan bercita-cita untuk asa yang akan mereka kejar.

Sampai ke perjalanan dimana saya mulai menjadi pengamat, melihat orang2 disekitar saya dengan cara pandang yang berbeda, cara pandang yang lebih 'empati', lebih 'memahami', dan lebih 'mengerti'.

Lalu satu pertanyaan timbul. Apa yang dilakukan orang seusia saya ketika mereka ditinggalkan suami?

Saya mengamati lagi, teman saya baru bercerai, setelah masa idahnya selesai langsung menikah dengan pria yang digadang2 ke semua orang disekitarnya bahwa suaminya sangat kaya raya.

Saya sempat berpikir, apa itu yang saya inginkan? Bagaimana dengan kehidupan anak saya, apakah mereka cukup bahagia dengan uang banyak? Bagaimana dengan sisi emosional, dan perasaan mereka? Banyak sekali yang saya pikirkan, tanpa menyalahkan pilihan hidup teman saya. Karena menurut saya, setiap orang punya alasan, punya latar belakang kenapa keputusan itu diambil. Mereka semua benar dengan cara mereka sendiri.

Perjalanan saya berlanjut ketika melihat teman saya yang lain, suaminya meninggal, akhirnya karena tuntutan ekonomi, teman saya bekerja 12 jam sehari. Meninggalkan anaknya pada mertuanya, dia tidak ingin menikah lagi ketika kami berbincang. Dia hanya ingin melanjutkan hidup, membesarkan anaknya nanti ketika tabungannya cukup lalu menua dengan tenang.

Kisahnya seperti saya, hampir mirip. Bedanya saya bekerja dirumah sebagai penjahit. Saya tidak membenarkan kisah teman saya yang memilih menikah atau stay single. Apapun yang mereka jalani itu benar semua.

Mungkin karena saya sudah lelah dengan drama berbagai macam kehidupan. Dan rasa cinta mendalam pada almarhum suami saya, dimana rasanya hati ini masih ingin bersamanya kelak di akhirat. Menjalani hidup yang sekarang, terasa masih ada lubang besar dihati yang belum bisa diisi oleh siapapun. Apalagi melihat anak-anak yang begitu sayang kepada papanya, Masya Allah... saya bangga sekali dengan anak-anak. Yang dalam sholatnya tak pernah lupa membaca alfatihah yang ditujukan pada papanya.

Saya sudah move on, walaupun kata orang move on itu berarti menikah kembali. Membangun keluarga baru lagi.

Benar.

Tapi, move on menurut saya berarti saya menjalani hidup dengan tersenyum kembali. Mengenang kenangan bersama almarhum suami dengan tidak meneteskan air mata. Dan mencintai almarhum tanpa syarat.

Banyak saya belajar setelah ditinggalkan oleh orang yang sangat saya cintai. Bahwa saya lebih menghargai hidup, menghargai kenikmatan yang paling sederhana sekalipun, mencintai anak-anak dan keluarga dengan bijak, menjalani semua kegiatan karena memang begini jalan kehidupan telah diatur.

Perubahan terbesar yang saya rasakan setelah ditinggal oleh suami adalah, keinginan menggebu-gebu untuk mencapai sesuatu. Suatu keinginan untuk membuktikan pada dunia bahwa ekspektasi kita sesuai harapan mereka. Keinginan untuk memiliki barang ini dan itu.

Semua sirna dalam sekejab.

Ketika almarhum menghembuskan nafas terakhirnya, disitu saya tidak berkenginan apapun kecuali suami saya ada disamping saya. Saya tidak butuh harta berlimpah, uang banyak, punya ini itu, anak sekolah di lembaga mentereng. Tidak. Saya hanya ingin suami saya kembali. Titik.

Karena suami saya memang pribadi yang baik. Allah lebih sayang padanya agar sakitnya tidak berlarut-larut.

2019 kami sekeluarga ditinggalkan almarhum.

Berbagai macam kenangan itu masih sangat segar seperti baru kemarin. Saya mengingatnya dengan tersenyum. Bahagia bahwa Allah membagikan kemurahan hatinya untuk saya. Untuk mencicipi sejenak kebahagian dengan almarhum. Untuk menciptakan berbagai momen indah yang akan saya kenang sampai kita dipertemukan kelak. Menceritakan pada anak-anak betapa luar biasa sosok papanya.

Terimakasih ya Allah.

InsyaAllah, saya sudah menjalani kehidupan ini dengan tenang. Dengan cukup rejeki untuk saya dan anak-anak. Dengan banyak rasa syukur tentang apapun yang telah kami lewati setelah masa sulit itu. Subhanallah, betapa Allah memang Maha Mengetahui Segala Sesuatu. Bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan.

Semua butuh proses, dan percayalah akan waktu yang akan menyembuhkan luka. Air mata itu memang masih mengalir, tapi tak sederas dulu. Saya dan anak-anak, alhamduillah bahagia dengan rasa syukur kita yang tak henti-henti pada Allah SWT.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sadar Diri

Keresahan Pakaian Pernikahan

DIY-cempal tanpa jahit